My short story V : Tentang masa lalu

on Sunday, 12 December 2010
“Dan jika suatu hari nanti aku bisa menjadi apa yang aku inginkan, aku akan membahagiakan orang-orang terdekatku. Orang tuaku, adikku serta teman-temanku. Aku tidak akan melupakan teman-teman di Vidatra, teman seperjuanganku”


Semua perkataan itu masih terekam jelas di memoriku. Tentang semua apa yang menjadi keinginannya sebelum ia pergi jauh. Aku bukan siapa-siapanya. Hanya sebatas teman tanpa ada perasaan.
Tempat ini beserta pemandangannya mengingatkanku pada sepuluh tahun lalu. Kami dan yang lainnya masih disini. Menunggu giliran untuk tampil berekspresi. Penuh semangat, penuh percaya diri, dan penuh emosi. Berusaha untuk menjadi pemenang dalam perlombaan ini.

Ala tipang tipang tipang orabayo
Ala tipang tipang rudempo 2x
Ini bulan K3(katanya-katanya)
Paling banyak razia (katanya-katanya)
Safetynya jangan lupa
(bla bla bla lupa)

Ini regu sumut (ini regu sumut)
Suka makan belut (suka makan belut)
Muka kayak curut (muka kayak curut)
Ini regu sumuut.. Yang paling imut!

Ku takut mama ku marah
Ku takut papa ku marah
Ku takut mereka marah
Kalo nanti kita kalah

Rasa sayange rasa sayang sayange..
Hee lihat dari jauh rasa sayang sayange..
Kalau ada sumur diladang boleh kita menumpang mandi..
Kalau ada umur yang panjang boleh kita berjumpa lagi..

Aku tertawa kecil mengingat itu semua. Tak ada yang lebih indah dari pada masa remaja dulu.

“Hee.. tangkaappp diaaaa!!” Seseorang berusaha menangkap bola. Seorang yang lain berusaha menghalang-halangi musuhnya. Yap.. Dua point berhasil didapat tim lawan.
“Prriiiiitttt,” suara peluit Pak Hari memberi isyarat untuk pemain selanjutnya memukul bola.
“Apaa Fiq. Awas kamu kencang-kencang lemparnyaa,”
“Hehehe..”
“Cieeeeee,” sorak teman-teman lain.
“Buuk!” bola terhempas jauh.
“Tangkap itu cepaat tangkaappp!!!”
Aku berlari sekuat tenaga melewati pol-pol hingga sampai ke home.
“Priiiittt, prittt, prrriiitt,” kembali, suara peluit mengakhiri permainan.
“Hah, payah! Kurang kuat kamu tuh larinya. Sprinter dong sprinter,”
“Terbang aja kamu kalo mau cepat,”
“Merajuk lagi. Dasar wanita,”
“Dasar lelaki, maunya menang terus,”

Aku meneteskan air mata mengingat semua peristiwa itu. Peristiwa yang tidak mungkin dan tidak akan terulang kembali. Karna hidup hanya sekali saja, maka aku akan menyimpan kenangan itu baik-baik dalam benakku. Waktu telah berjalan secepat yang aku kira. Meninggalkanku tanpa ada kesempatan untuk memperbaiki dan mengulang. Sejujurnya, jika disuruh untuk memilih aku tidak mau meninggalkan masa dulu. Masa yang tenang, ceria, dengan emosi yang labil, banyak canda, tanpa beban, bebas berekspresi, saling berkompetisi, dan berorganisasi dalam lingkup kecil. Oh Tuhan, terima kasih telah memberiku pengalaman yang begitu indah, telah memberiku teman-teman yang bersahabat, teman-teman yang mampu ku ingat namanya hingga sekarang. Meskipun diantara mereka sudah tiada.
Tidak ada yang bisa ku lakukan untuk mereka semua selain melukiskan rasa bahagia ini dalam tulisan ini. Untuk tetap bisa mengingat mereka di waktu yang akan datang. Kapan kita akan bertemu lagi? Kapan kita bercanda lagi seperti dulu? Mungkin sangat sulit untuk mengumpulkan kita semua sekelas dalam tempat yang sama dan di masa yang berbeda. Kalau dulu ketika ada perlombaan antarkelas, kita selalu kompakan untuk ngumpul di suatu tempat yang telah ditentukan.

“Perhatian! Untuk semua warga FIREFOX nanti malam habis Isya berkumpul di rumah Bina untuk persiapan karnaval. Terima kasih!” (gaya bicaranya Febri)

Dan kalau kita datang ke rumah Bina pada saat itu, pasti sudah berkumpul semua untuk memulai pekerjaan persiapan karnaval. Tapi bila mengingat kondisi sekarang, apabila kita tinggal sms atau melalui telepon untuk pengumuman berkumpul habis Isya malam ini, mungkin ada yang bisa, ada yang harus menunggu pesawat, ada yang mencari carteran innova dulu, atau naik bus patas untuk menempuh tujuan. Ya. Kita telah berpencar. Bertransmigrasi dan berurbanisasi ke tempat-tempat yang berbeda. Keluar dari sarang yang selama ini menjadi tempat bertahan hidup dari nol sampai sekitar delapan belas tahun.
Namun, disinilah awal kami semua bertemu. Menimba ilmu, mencari jati diri, puber, lulus sd, smp, dan sma. Waktu kecil kami dihabiskan di kota ini. Kota Bontang. Merasakan kesenangan dan kesedihan bersama sebagai satu keluarga. Satu Firefox. Kesenangan kami dapatkan ketika berhasil menjadi juara dalam berbagai lomba. Lomba Karnaval (republik mimpi), lomba K3, dan lomba gerak jalan (ultah Vidatra).
Kesedihan. Kesedihan kami rasakan ketika kami harus kehilangan sahabat kami (sewaktu kelas 1 sma). Sahabat terbaik yang kami punya. Sahabat yang dulu selalu menjadi kebanggaan sekolah kami. Aku tak kuasa menyebutkan namanya di sini. Sudah cukup bagi ku untuk mengingat semua kenangan tentang dia bersama teman-teman yang lain.

Perjalanan hidupku ini
Bagaikan sebuah permainan
Penuh liku yang berarti
Namun jadi tantangan

Ku coba renungkan hidupku
Masih kah ku bisa tertawa
Dalam sempitnya waktu
Dikehidupan ini

Ku tau aku hanya manusia
Takkan bisa ku sempurna

Dan ku terus melangkah
Jalani hidup tuk jadi mudah
Meskipun memang berat
Akan ku jadikan semua itu anugrah

(Puisi oleh A.R.)



Dan aku berdiri dari tempat dudukku. Berdiri dan melihat sejauh mata memandang dari tribun ini. Bernostalgia tentang masa lalu. Masa yang indah. Tetap ingatlah masa-masa indah yang ku ceritakan itu. Karena suatu saat jika kalian mengingatnya pasti akan merasa ingin kembali pada masa lalu.

semoga berada di sisi-Nya (Alm. Afiq Rashif)

Musikalisasi puisi II : belum ada judul :)

seperti tajamnya pedang
lemah kuat menantang
jago merah menerjang
namun tak seperti arang

seperti lajunya masa
mendesak kian memaksa
berlomba membuat sketsa
tanpa putus asa

ku teliti goresan tinta
yang menjadi pandangan mata
semua sudah tertata
tinggal kita berkata

reff:
ku ingin merasakan
duduk bersandar memecah angka
meraih sebuah mimpi
tuk harumkan nusa bangsaku

apakah kau lihat ku
menahan rasa ingin berjuang
meraih sebuah mimpi
tuk harapan bangsa

(afin, made, yunita, ilham, amel, viola, magda)

musikalisasi puisi I : for Indonesia

Kala sungai tak bersahabat
Laut biru penuh amarah
Gunung pun turut gelisah
Indonesiaku kini resah

Adakah kau dengarkan aku
Adakah kau rasa..

reff :
serasa fantasi masa kecilku
alunan perih membayangi anganku
so give your heart to pray for Indonesia
and we can live forever

kini tersisa puing-puing
tanah air ku bersedih..


(afin, made, yunita, ilham, viola, amel, magda)

my short story III : Sahabat 122 hari

Cuaca hari ini terlihat tidak bersahabat. Panas matahari begitu menyengat kulit. Bumi memang sudah tidak semuda dulu. Lapisan ozon yang lubang membiarkan panas matahari lebih leluasa untuk menguasai bumi. Huh!
Ku jelajahi jalan setapak ini setiap hari ku pulang dan pergi menuntut ilmu selama hampir sebelas tahun. Suasana perjalanan tidak ada yang berubah sedikit pun. Pemandangan sebagian rumah terlihat tak mampu lagi melindungi penghuninya. Namun, sebagian lagi tampak mewah gagah.
Tapi hari ini ku lihat seorang gadis -perkiraan ku usianya sama denganku- sedang menanam sebuah bibit pohon didepan sebuah rumah sederhana. Karena terlihat sedikit sibuk ku datangi gadis itu.
“Permisi. Kayaknya sibuk banget. Boleh aku bantuin?” tawarku.
“Oh boleh kok. Tapi apa nggak ngotorin baju kamu nanti?”
“Nggak kok. Hari ini hari terakhir pakai baju ini jadi nggak papa kotor nanti bisa langsung dicuci,”
Mataku memandangi sosok gadis itu. Rambutnya pendek sebahu, kulitnya putih pucat. Aku tidak tega membiarkannya bekerja sendirian.
“Ngomong-ngomong kamu nanam pohon apa ini?”tanyaku.
“Oh semua ini pohon pepaya. Kamu suka buah pepaya?” tanyanya padaku.
“Lumayan. Jadi semua bibit pohon ini pohon pepaya semua?”
“Iya,”
“Terus kamu juga yang nanam ini semuanya,”
“Iya,” jawabnya dengan senyum.
“Orang tuamu keterlaluan. Tega sekali mereka menyuruhmu menanam bibit pohon sebanyak ini. Harusnya kamu tuh sekolah. Kan sekolah sekarang sudah gratis,” ceramahku.
“Orang tuaku nggak tega kok. Aku sendiri yang mau,” jawabnya sambil tersenyum,”
“Terus buat apa kamu nanam sebanyak ini. Mau jualan?” tanyaku ceplas-ceplos penasaran.
“Biar orang-orang disini ngerasain buah pepaya. Mereka rata-rata nggak punya uang buat beli pepaya. Ini kebetulan tanteku dari Surabaya kasih bibit pohon pepaya. Biar pekarangan rumahku ini juga nggak terlihat gersang. Hijau seperti surga,”
“Wiihh, kayak pernah ke surga aja.”
“Hehe.. iya ya. Tapi pasti suatu saat aku akan ke sana,”
Suasana hening.
“Kok diam?” tanyanya.
“Oh nggak papa. Oiya kita belum kenalan lo. Namaku Rena. Kamu?”
“Aku Laila. Senang kenalan sama kamu. Kamu mau jadi teman ku?” tanyanya tiba-tiba.
“Mau kok. Oke mulai hari ini sampe seterusnya kita temenan ya. Bibit pohon ini saksinya. Haha..,”
“Hahahaha,”
“Oiya, empat bulan lagi pepayanya sudah berbuah. Nanti kalo sudah berbuah tapi belum masak kamu hitung ya ada berapa buahnya. Kalau buahnya sudah masak terus sudah berkurang satu buah berarti sudah aku ambil dan bisa dipanen semua. Nanti kamu ke rumahku lagi ya kita bikin makanan atau minuman serba pepaya deh. Ajak temen-temenmu juga ya biar ramai,” kata Laila mengakhiri pertemuan kami siang hari itu.
“Oke. Sip deh!”
Ternyata pertemuan singkatku dengan gadis itu berbuah menjadi pertemanan yang tidak terduga. Setiap siang pulang sekolah jika melihat dia di depan rumahnya aku selalu mampir untuk menyiram pohon pepaya itu bersamanya. Baru kali ini rasanya punya teman baru yang sangat berbeda status, kondisi, dan latar belakang.
Satu bulan sudah berlalu. Pohon pepaya itu mulai tinggi dan daunnya mulai banyak. Laila dan aku masih rajin menyirami dan memupuknya. Dua bulan, batangnya bertambah tinggi dan daunnya mulai menguning, sebagian telah rapuh. Tiga bulan, sudah terlihat bunga yang mekar sebagai tanda bahwa akan berbuah. Tapi aku sudah jarang melihat Laila menyiraminya lagi. Aku ke rumahnya bermaksud untuk mengajaknya menyiram pohon pepaya. Tapi tidak ada orang di rumahnya. Oh mungkin sedang tidur, pikirku.
Menginjak akhir bulan ke-tiga buahnya sudah hampir masak. Ku hitung ada delapan buah di satu pohon yang paling tinggi. Setiap hari aku pulang sekolah masih saja rumah Laila tampak sepi. Mungkin sedang berlibur, pikirku lagi. Tapi kok pas bukan waktunya liburan. Sampai akhirnya memasuki bulan ke-empat, buahnya sudah masak tetapi belum berkurang satu pun. Masih utuh delapan. Aku semakin heran, ke mana Laila. Rumahnya berkali-kali ku kunjungi tidak ada orang. Apa mereka pindah rumah? Ku tanya orang sekitar rumahnya dan informasinya adalah mereka pergi ke Jakarta atas biaya pemerintah daerah. Hha? Tapi buat apa ke Jakarta? Pakai dibiayai pemerintah daerah lagi. Apakah sepenting itu? Aku jadi tambah penasaran dengan menghilangnya Laila dan keluarganya.
Masih awal bulan ke-empat tepatnya tanggal tujuh. Kedelapan buah pepaya itu masih tetap menggantung di batangnya tetapi sudah mulai menguning tanda sebentar lagi akan busuk.
Keesokkan harinya seperti biasanya aku melintasi rumah Laila. Yang pertama kali ku perhatikan adalah pepaya-pepaya itu. Wajahku tampak sangat lega, buah pepaya itu berkurang satu berarti Laila sudah ada di rumah. Aku berlari menuju rumahnya. Tapi sedikit aneh. Ramai, tidak seperti biasanya. Pekarangannya yang sudah hijau itu dipenuhi banyak orang yang duduk diatas lampit. Apakah seakrab ini orang disekitar Laila menyambut kedatangannya pulang dari Jakarta.
Langkahku melambat. Menaiki tangga rumah Laiya yang berupa rumah panggung sederhana. Suasana bertambah aneh. Asing. Hatiku bergetar. Bulu kuduk merinding. Tapi ku beranikan diriku untuk masuk ke dalam rumahnya.
Air mataku perlahan mengalir. Lama-lama semakin deras. Melihat sebuah kenyataan dari segala pertanyaanku selama ini. Ibu Laila menangis. Air matanya terus mengalir, sama seperti keadaanku sekarang. Aku lihat Laila. Wajahnya cantik putih pucat, lebih pucat dari biasanya. Berbaring. Dibungkus kain kafan dan diselimuti sehelai kain bermotif batik. Iya, dia sudah tak bernyawa.
Langkahku terhenti. Mematung. Tidak tau harus berbuat apa. Kenapa bisa begini? Apa yang terjadi?
Mata ibu Laila mengarah kepadaku. Sedih.
“Nak Rena. Salam dari Laila sebelum dia pergi untuk nak Rena,”
Hatiku semakin bergetar. Mau pingsan. Kenapa tidak Laila saja yang langsung mengatakannya. Padahal sekarang ia ada di dekatku.
Setelah pemakaman Laila selesai, aku merenung. Ada sesuatu yang tidak ku ketahui. Ibu Laila mengajakku ke rumahnya dahulu sebelum aku pulang.
“Nak Rena. Ini ada satu lagi titipan dari Laila,” ibu Laila mengeluarkan sebuah amplop putih.
Aku terdiam sejenak lalu mengambil amplop itu. Sampai di rumah, ku buka amplop itu dan ternyata adalah sebuah surat yang Laila tulis sebelum ia meninggal.
Untuk Rena. Terima kasih ya atas segala keikhlasanmu membantuku menanam pohon pepaya. Aku juga sangat senang kamu mau membantuku menyirami dan memupuknya. Belum pernah aku merasakan punya teman sebaik kamu. Jujur, selama ini aku tidak punya teman. Mereka takut berteman denganku karena aku punya penyakit kanker darah. Ibu bilang itu tidak menular, tapi mereka tetap saja takut. Maaf aku tidak pernah memberi tahumu soal ini. Aku takut kamu menjauh seperti teman-temanku sebelumnya.
Aku seperti punya penyemangat baru ketika kamu datang. Walaupun cuma sebentar itu sudah cukup bagiku punya hari-hari terakhir yang menyenangkan. Terima kasih Rena. Aku tak tahu harus membalasnya dengan apa. Pohon pepaya itu sekarang ku berikan untukmu. Tolong dirawat. Sampai ketemu di surga ya. Laila.
Surat itu basah karena air mataku. Pepaya yang hilang satu itu tidak dipetik Laila, melainkan jatuh karena sudah sangat matang. Terjawab sudah tanda tanya dibenakku. Ia pergi ke Jakarta untuk berobat bukan berlibur. Tapi takdir tak bisa ditolak. Selamat jalan sahabatku. Sampai ketemu di surga.

my short story II : Ge eR lebay !!

Alena baru aja sebulan membentuk suatu band baru dengan teman-temannya untuk mengisi acara prom. Dia sendiri jadi keybordist, Kirana vokalist, ada Ikhram gitarist, Dana bassist, sama Noor drummer. Semuanya dia kenal kecuali si Noor. Biar gak miss-komunikasi mereka semua saling memberi nomor handphone masing-masing.
Di sela-sela latihan..
“Bentar-bentar dulu,” kata Noor menghentikan permainannya kemudian megambil Hpnya.
“Ciee.. ciee.. My lovely Indah. Hahahaa,” yang lainnya tertawa memerhatikan Noor yang senyum-senyum sendiri.
“Apaan sih,”
Alena juga gak mau kalah. Disela-sela itu ia juga mengambil kesempatan untuk membenarkan make-upnya.
“Wuiihh.. Yang ini lagi. Udah cantik kok mbak, udah cantik,” beralih memerhatikan Alena.
Alena hanya membalas dengan senyum kemudian mengajak kembali berlatih.

***
Triinggg...
1 new message
From : Noor
Lagi apa?

Tanpa pikir panjang, Alena membalas sms Noor..
To : Noor
Baca novel..
From : Noor
Oo.. Aku kangen banget deh sama kamu..
To : Noor
Hhee ?

Alena terheran-heran membaca balasan sms Noor. Kok bisa? Bisa mencoba selingkuh ini anak. Padahal kan sudah punya Indah. HHaa, wajar dong. Gue mungkin udah terlihat lebih cantik daripada Indah. Alena senyum-seyum sendiri.

Sepuluh menit kemudian..
From : Noor
Eh sori ya Al, gue gak nyadar salah kirim ke elo. Tadinya mau ke Indah. Hehe..
To : Noor
Oo iya gak papa..

Hha? Bisa-bisanya dia salah kirim. Kalo lagi ngantuk juga gak mungkin kepencet nama gue. Abjad nama gue sama Indah kan beda jauh, A dan I. Perlu dipertanyakan ini.

***

Saat istirahat latihan..
“Noor, tumben lo dari kemaren latihan nggak smsan sama, your lovely Indah,” tanya Dana sambil tertawa.
“Dia lagi sibuk urusin dresscode buat prom tuh katanya,”
“Oo...”
“Eh Na, kayaknya ada yang nggak beres deh si Noor sama ceweknya,” bisik Alena ke Kirana karena satu-satunya temen cewek di bandnya.
“Nggak beres kenapa,” Kirana penasaran.
“Gini, dua hari yang lalu tuh si Noor sms nyasar ke gue, blaa, blaa,” panjang Alena menceritakan apa yang terjadi sejak dia kenal dengan Noor di band mereka.
“Kok bisa gitu ya? Ah, lo aja kali yang ke Ge-eRan. Lo suka juga ya sama Noor,”
“Gue kan gak bilang suka sama sii Noor, yaa aneh aja gitu kok bisa dia salah kirim sms fatal banget. Kejadian itu gak sekali, tapi berulang ulang. Terus tuh ya dia suka missedcalled gue. Gue tanya ada apa, katanya juga salah pencet,”
“Namanya juga manusia,” jawab Kirana mengakiri dengan alis mengernyit.

“Ahh.. bilang aja Noor kalo lo beneran suka sama gue. Gue rasa gue juga lumayan cantik. Gue kan keturunan bule . Hmm.. Kalo lo nyatain cinta ke gue mungkin gak langsung nerima elo, tapi mungkin lebih bisa ke sahabat dekat. Secara siapa sih yang gak mau deket-deket terus sama cowo ganteng kayak lo. Gak usah banyak basa-basi entar malah jadi basi,” kata Alena dalam hati.

***

Saat prom tiba Alena tidak melihat Indah bersama Noor. Malahan Noor tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali. Hanya pada saat mereka tampil baru Noor keliatan.
Tiba-tiba lampu gedung mati, dan hanya menyisakan sedikit cahaya dari lampu sorot di atas panggung. Memperlihatkan seorang cowok ditengahnya sedang berdiri memegang microphone.
“Selamat malam. Mohon maaf sebelumnya kepada teman-teman semua. Gue ingin memberikan suatu surprise buat seseorang yang sangat misterius. Gue ingin memberikan kado ini,”
“Cieeee... cihuuuiiii..” sorak penghuni gedung.
Nggak nyangka ternyata si Noor berani melakukan hal itu. Alena pun mulai deg-deg-an. Cewek misterius? Who is she?
“ Sebenernya gue susah banget melakukan ini ke dia, karena gue emang gak berani kalo tatap wajahnya secara langsung. Tapi malem ini gue berusaha untuk hilangin rasa takut gue. Gue pingin kasih ke seseorang. (diam sekitar lima menit). Ke Al... (diam lagi),”
“Tuh kan kayaknya beneran dia suka sama gue deh Na, aduuhhh gimana nih gue belum siap maju kedepan. Gimana dong Na. Atau lo wakilin aja ya. Aduh jantung gue mau copot nih rasanya,” kata Alena.
“Iya iya, kalo lo gak mau maju, gue yang wakilin,” kata Karina memandang aneh Alena yang mukanya udah keringet dingin.
“Gue, pingin kasih ini ke cewek gue ALINDAH FARADILA,” kata Noor datar tapi gagah.
JDARRRR.. ALINDAH? Indah maksudnya? Jadiii, selama ini si Noor beneran? Beneran salah kirim sms ke gue? Nama asli ceweknya itu? ALINDAH? What?
“Dan buat Alena keybordist band gue,” Noor melanjutkan kalimatnya.
Kepucatan diwajah Alena sekejap cerah kembali. Berharap ada cinta ke dua buat dia.
“Sarung tangan lo ketinggalan di belakang panggung. Cepat ambil sebelum diambil om cleaner,”
Buset dah, sii Noor baik juga ternyata sama Alena. Sarung tangannya aja sampai diumumin pake toak. Hahaha.. Alena malunya bukan main pada dirinya sendiri.
“Jadi gue wakilin gak nih?” tanya Karina pada Alena dengan muka sedikit rasa kemenangan.
“Hmnn... Biar gue ambil sendiri,” kata Alena meninggalkan Karina dengan wajah setengah mati malu.

Oke jadi jika Noor mengirim sms kepada Indah melalui search contact dengan menekan huruf “A” dan “L” di Hpnya maka akan tertulis :
Alena
Alindah

dan dia selalu terburu-buru untuk mengirim sms kepada kekasihnya itu. 

my short story I : terima kasih

Gadis cantik itu mengidap penyakit leukimia dan didiagnosa dokter sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Ia sudah putus asa karena merasa orang-orang di sekitarnya sudah tidak peduli dengannya. Sejak orangtuanya bercerai, mamanya selalu sibuk mengurusi bisnisnya dan hanya sedikit waktu yang diluangkan untuk anaknya. Kekasihnya ia rasa juga sudah tidak bisa menerima keadaannya lagi. Sampai pada suatu sore, ia duduk memandang langit dari atas gedung rumah sakit. Berkata sendiri untuk seorang temannya yang sudah jauh di sana.
“Kalo aku sudah bisa kesana, kamu harus menyambut aku dengan senyum ya, Fiq. Karena hanya senyummu yang bisa ku ingat di sini sekarang. Kalo ada kamu mungkin aku masih bisa tertawa ya karena leluconmu,” Gadis itu tertawa kecil mengenang masa lalu.
“ Sekarang Iraz aja udah nggak bisa nerima aku. Dia butuh perhatianku tapi aku malah nyuruh dia perhatikanku. Aku memang nggak adil sama dia. Aku nggak bisa berikan dia apa yang dia inginkan.”
Tanpa ia sadari kekasihnya, Iraz, ternyata sedari tadi ada di belakangnya menahan tangis melihatnya berbicara seperti itu. Dengan penuh kasih sayang kemudian Iraz memeluk gadis itu itu.
“Aku nggak mau kehilangan kamu sayang. Aku sangat mencintai kamu. Kamu harus tetap temani aku di sini,” kata Iraz.
Gadis itu mencoba melepas pelukan kekasihnya.
“Aku sudah siap jika suatu hari nanti bisa pergi. Kamu nggak usah khawatir karena aku punya teman baik di sana. Karena di sini aku memang sudah nggak punya teman. Kamu sendiri juga sudah membuangku,” kata gadis itu.
“Nggak sayang. Aku nggak kuat kehilangan kamu,” tak kuasa menahan tangis akhirnya ia menangis juga.
“Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk apalagi kamu mencintaiku. Masih banyak gadis lain disana yang lebih pantas kamu cintai,” lanjut gadis itu.
“Alena, dengarkan aku. Selama ini aku tidak pernah mencoba menjauh dari kamu sayang. Aku tidak pernah mencoba untuk meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini. Aku hanya berpikir bagaimana caranya supaya kamu bisa sembuh. Ya sayaang. Jangan pernah berkata seperti itu lagi. Aku akan bantu kamu cari pengobatan lain,”
“Tapi sudah nggak bisa sayaang,” Alena ikut menangis.
“Bisa. Pasti bisa. Dokter nggak berhak buat keputusan seenaknya. Dengarkan aku, kamu harus ikut aku ke suatu tempat. Di sana kita coba buat pengobatan kamu. Sayang kamu mau?”
“Aku sudah capek sayang. Aku sudah capek menjalani berbagai perawatan ini itu. Mungkin memang sudah saatnya,”
“Nggak sayang. Kamu dengar aku? Tidak ada kata menyerah dalam kamus mu. Kamu selalu bisa dalam setiap pelajaran. Kamu selalu bisa buatku bangga. Ayolah tunjukkan lagi kalau kamu masih punya semangat itu. Kalau aku disampingmu kamu tidak akan merasa capek,” kata Iraz kembali meyakinkan.
“Baiklah. Akan aku coba. Aku akan tanya ke mama dulu,” pinta Alena.
“Nggak usah. Mama kamu udah nggak peduli sama kamu. Kamu liat sendiri kan kemarin dia nyuruh mbak Ati yang bawa kamu ke rumah sakit sedang dia hanya mengurus bisnisnya itu. Aku harus bawa kamu sekarang sayang. Nggak ada waktu lagi. Kamu harus segera sembuh,” kata Iraz sambil menghapus air mata kekasihnya itu kemudian mengangkat tubuh Alena kembali ke kamarnya.

Sekumpulan gadis sedang makan disebuah warung sambil bercanda ria. Sesakali serius, tertawa bahkan bertindak usil satu sama lain. Alena, hanya memandang sedih pemandangan itu.
“Tidakkah kamu ingin seperti mereka? Menggosip sambil bercanda. Tidakkah kamu ingat sayang betapa bahagianya kamu dan sahabat-sahabatmu itu sedang berkumpul tempo dulu. Menjelajah dari suatu tempat ke tempat lain. Menggambil gambar, meng-uploadnya dan mengomentarinya di facebook. Tidakkah kamu berpikir untuk mengulang kejadian itu kembali. Menyenangkan pastinya,”kata Iraz.
“Apa bisa aku seperti itu lagi,” kata Alena pesimis.
“Tidak ada yang bisa kalau kita tidak mau berusaha,” jawab Iraz.
Sebuah rumah sederhana berdindingkan bambu dihampiri oleh Alena dan Iraz. Pemandangan pekarangan rumah itu sangat asri dan indah. Alena terkesan dengan tempat ini.
“Ini tempat yang aku ceritakan. Kamu akan diobati disini dengan pengobatan alami tradisional oleh Ibu Ira. Ayo sayang, jangan takut. Ada aku di sini” Iraz menggandeng gadis pucat itu.
Sejenak Alena tampak ragu karena baru kali ini ia akan berobat tanpa melihat alat-alat medis yang sering ia gunakan. Namun karena Iraz telah berusaha mengajaknya ke sini, ia akan mencobanya.
Dua jam waktu berlalu. Iraz dengan setia mendampingi Alena dalam berbagai tahap penyembuhan.
“Capek ya sayang? Ayo kita istahat dulu sekalian cari makan siang,” tanya Iraz kepada Alena yang terlihat kelelahan.
“Iya sedikit capek sayang,” jawab Alena lemas.
“Tapi nggak sakit kan? Pengobatan ini akan berlangsung sampai beberapa hari. Dan kamu harus menjalaninya sampai terlihat perubahan. Setelah itu kamu bisa berobat sendiri di rumah dengan beberapa resep obatnya,” jelas Iraz sambil mengelap keringat Alena.
“Iya sayang, kamu baik sekali. Aku akan mencoba pengobatan ini untuk berikutnya. Aku mau temani aku lagi kan?” tanya Alena.
Iraz hanya tersenyum dan memeluk gadis itu.

  

Hari-hari telah Alena lalui untuk menjalani pengobatan ini. Ia merasa lelah tetapi juga merasa tubuhnya menjadi lebih baik setiap kali usai menjalani pengobatan. Iraz sangat setia menemaninya. Memang butuh waktu yang lama untuk menyembuhkan penyakit ini. Sampai pada suatu hari Alena benar-benar merasa dirinya telah sembuh. Ia sendiri yang mengatakan hal itu walaupun yang mengobatinya belum menyatakan seratus persen sembuh. Ia semakin semangat setelah ia sadar bahwa peluang untuk kesembuhannya semakin besar.
“Sayang kata Ibu Ira aku telah sembuh. Aku sehat seperti sedia kala. Aku bisa melakukan kembali apa yang aku mau. Aku bisa sayang,” Alena mengatakan itu dengan tangis bahagia.
“Aku yakin kalau kamu pasti bisa. Karena aku kenal kamu. Kamu bisa jika ada yang memotivasi kamu. Terima kasih karena kamu tetap bisa membuatku bangga,” kata Iraz.
“Aku beruntung bisa mempunyai kekasih yang sangat sabar dan perhatian. Tidak semua lelaki di dunia ini seperti kamu sayang. Maafkan aku karena sempat membuatmu kecewa. Aku tidak akan meninggalkanmu kecuali memang sudah takdir untukku. Terima kasih untuk semua yang telah engkau lakukan untukku,” Alena berkata bahagia.