Resensi Novel Salah Asuhan

on Sunday 31 July 2011

RESENSI BUKU FIKSI

Judul buku : Salah Asuhan

Pengarang : Abdoel Moeis

Penerbit : Balai Pustaka

Tahun terbit : 2004

Jumlah halaman : vii + 262 halaman


Kesabaran seorang ibu menghadapi perilaku buah hatinya pastilah ada batasnya. Penghinaan dan sikap dicemooh yang bertubi-tubi datang kepadanya cukuplah untuk menguji ketabahan orang tua itu. Beribu malu ia tanggung untuk berhutang kepada sanak saudaranya demi memberikan tambahan biaya sekolah anak pengharapannya itu. Tujuannya hendak menitipkan buah hatinya sedari kecil di rumah seorang kebangsaan Belanda semata-mata untuk menjadikannya sebagai seorang yang bisa dipandang terpelajar, melebihi kaum keluarganya dari kampung (halaman 23). Namun tidaklah setara perlakuan Hanafi kepada ibundanya.

Setelah bertahun-tahun hidup dan tinggal dengan orang bangsa Belanda, lupalah ia pada bangsa ibunya, bangsa Indonesia. Segala aturan haruslah berdasarkan kebiasaan orang Belanda. Iapun berniat pidah kebangsaan. Rapiah, seorang gadis berhati suci yang dipilihkan ibunya untuk pendamping hidupnya sebenarnya adalah untuk membalas budi baik sanak saudara yang telah membantu menyekolahkannya. Hanafi yang mulanya menolak penuh untuk dinikahkan dengan gadis yang tidak dicintainya itu akhirnya menerima Rapiah dengan sangat terpaksa akibat ia mempunyai hutang budi kepada orangtua si gadis. Tidaklah seorang Hanafi pada mulanya sendirian. Ia sebenarnya telah mengidam-idamkan seorang gadis bangsa Belanda yang telah lama ia harap untuk menjadi istrinya. Dialah Corrie du Busse wanita idaman Hanafi yang sedari kecil menjadi sahabatnya. Corrie meninggalkan Kota Solok kemudian pergi ke Betawi untuk menghilangkan rasa cintanya kepada Hanafi agar tidak terjadi perkawinan campuran antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia. Hanafi membanding-bandingkan Rapiah dengan Corrie. Corrie adalah anak terpelajar dan oleh karena itu ia sombong dan menghina bangsa ibu Hanafi sedangkan Rapiah seorang yang sederhana, masih orang kampung, tetapi memiliki kepribadian yang sangat mulia. Namun, Tuhan telah menakdirkan Rapiah sebagai pendamping hidup yang tidak ia cintai.

Kehidupan Rapiah setelah bersuami dengan Hanafi tidaklah luput dari penyiksaan batin yang teramat sangat. Ia dan ibu mertuanya diperlakukan layaknya seorang babu yang diperintah majikan dalam rumahnya sendiri (halaman 80). Hanafi berasa malu terhadap kawan-kawan bangsa Belanda karena mempunyai seorang istri yang kampungan. Rapiah menahan segala emosi dan penderitaan yang dihadapinya itu dengan kesabaran. Ibunda Hanafi yang tidak terima dengan perlakuan keji anaknya telah berulang kali menasehati buah hatinya itu. Namun tidaklah sekalimat pun masuk ke dalam hati Hanafi. Dalam benak Hanafi, ibunya adalah seorang tua yang bodoh, kampungan, dan selalu tunduk pada peraturan adat kuno. Akibat tidak kuatnya Hanafi hidup dalam ketidaksenangan hati dan kebimbangan cintanya dengan Corrie, pada suatu sebab ia pergi ke Jakarta dan tak disangka pula ia bertemu kembali dengan wanita idamannya itu. Hancurlah hati Rapiah setelah menerima surat yang menyatakan dirinya akan dicerai oleh suami yang dicintainya (halaman 127).

Ketidaksenangan hati Hanafi selama beristri Rapiah akhirnya terobati dengan cinta Corrie yang bersemi kembali. Akan tetapi tidaklah berubah keadaan hati Hanafi yang dikiranya dapat menjadi lebih segar setelah menikah dengan Coriie. Gadis keras kepala itu merasakan penderitaan akibat perkawinan campuran dengan Hanafi. Semua orang yang dikenalnya menyisih dan mencemooh dirinya akibat ia bersuamikan seorang Bumiputra (halaman 158). Akibat perilaku yang tidak menyenangkan hati Hanafi, pada suatu sebab ia menuduh dan mengatai istirnya dengan hal yang tidak pantas untuk diucapkan. Hal inilah yang menyebabkan istri keduanya itu memutuskan untuk bercerai. Singkatnya, Hanafi pulang ke kampung halamannya di Solok setelah ditinggal mati oleh Corrie (halaman 222) untuk meminta ampunan ibu dan istri pertamanya, Rapiah. Perlakuan tidak menyenangkan diterimanya sebagai akibat perlakuannya yang terdahulu. Pada akhir kisah ini, diceritakan bahwa Hanafi meninggal dengan tenang setelah mengucap nama Tuhan dengan tuntunan ibundanya (halaman 261). Itulah sekiranya hukuman yang diterima Hanafi karena telah menyalahkan asuhan ibunya sedari kecil. Kehidupan yang ia idam-idamkan menjadi sebuah kehidupan yang penuh dengan liku-liku tak berujung.

Dalam buku ini penulis menunjukkan kepada pembaca untuk lebih memperhatikan nasehat orang tua daripada pendapatnya sendiri. Meskipun dianggap terlalu kuno, nasihat orangtua jauh lebih baik karena telah banyak makan asam garam. Penulis menunjukkan sebagian inti ceritanya dalam buku ini yaitu tidak selalu pendidikan yang diterima anak di tempat yang baik akan menjadi sesuatu yang baik pula. Dalam alur cerita ini banyak pelajaran hidup yang bisa diambil oleh pembaca. Diantaranya sulitnya kehidupan akibat perkawinan campuran antara dua bangsa (halaman 15-21), hukuman yang langsung diterima oleh seorang anak yang durhaka pada ibunya (halaman 88-89), serta nasihat seorang sahabat kepada sahabatnya untuk diarahkan pada jalan yang benar (halaman 207-213). Tidak disangka pada akhirnya Hanafi sadar akan kesalahannya (halaman 261) dan itulah yang diharapkan penulis kepada para pembaca agar segera bertaubat jika pembaca sekalian pernah melakukan kesalahan. Pembaca bertambah wawasannya setelah mendapati beberapa kata daerah (halaman 160) atau kata yang masih digunakan orang dahulu. Pembaca pun mengetahui pula kebiasaan orang terdahulu yang masih menggunakan orang pintar ataupun dukun (halaman 59 dan 256) sementara mereka percaya pada Tuhan Yang Maha Esa (halaman 198 dan 261). Selain daripada poin-poin di atas, sebagian orang mungkin berpikir bahwa mereka harus tunduk pada adat karena itu merupakan sebuah penghormatan bagi leluhur mereka. Akan tetapi lihatlah apa yang terjadi pada kisah ini apabila kita tunduk pada adat yang berlaku tanpa memikirkan risikonya di depan kelak. Pembaca akan terhibur dengan lirik-lirik pantun yang indah dan membawa nasihat bagi yang membacanya (halaman 87 dan 118) serta ilustrasi yang digambarkan oleh penulis (halaman 126).

Selain daripada pesan moral yang sering disampaikan penulis melalui ceritanya, terdapat ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pembaca di luar dari alur cerita. Penulisan kata untuk kata asing seharusnya dicetak miring sesuai dengan penulisan dalam Bahasa Indonesia, seperti contoh (halaman 1) kata “sport” seharunya ditulis “sport”. Selain itu pembaca kurang memahami makna kata yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Belanda (halaman 31, 72, dan 120) sehingga kebingungan untuk mengartikan kalimatnya. Bahasa yang digunakan dalam buku ini masih bersifat lampau dan beberapa susah diartikan oleh masyarakat zaman sekarang. Anda juga tidak akan menemukan halaman 202 di dalam buku ini. Dalam hal percetakan, mungkin lebih dikoreksi kembali karena halaman 155 sampai dengan halaman 200 terjilid terbalik.

Buku ini merupakan sebuah referensi yang baik bagi para orangtua dalam mendidik anak. Kesombongan akan derajat yang tinggi semata-mata tidaklah dipandang baik oleh orang lain. Pandangan orang terdahulu tentu tidak sama dengan pandangan orang di zaman sekarang. Namun patutlah orangtua di zaman sekarang ini belajar dari kesalahan dan kebenaran orang terdahulu. Meskipun banyak nasehat yang dirasa terlalu kuno, namun pada prakteknya banyak peristiwa selain cerita di dalam novel ini yang menunjukkan kepada kita semua tentang adanya hukum alam. Hukuman yang akan berbalik kepada kita apabila kita durhaka kepada orangtua.

0 komentar: