my short story III : Sahabat 122 hari

on Sunday 12 December 2010
Cuaca hari ini terlihat tidak bersahabat. Panas matahari begitu menyengat kulit. Bumi memang sudah tidak semuda dulu. Lapisan ozon yang lubang membiarkan panas matahari lebih leluasa untuk menguasai bumi. Huh!
Ku jelajahi jalan setapak ini setiap hari ku pulang dan pergi menuntut ilmu selama hampir sebelas tahun. Suasana perjalanan tidak ada yang berubah sedikit pun. Pemandangan sebagian rumah terlihat tak mampu lagi melindungi penghuninya. Namun, sebagian lagi tampak mewah gagah.
Tapi hari ini ku lihat seorang gadis -perkiraan ku usianya sama denganku- sedang menanam sebuah bibit pohon didepan sebuah rumah sederhana. Karena terlihat sedikit sibuk ku datangi gadis itu.
“Permisi. Kayaknya sibuk banget. Boleh aku bantuin?” tawarku.
“Oh boleh kok. Tapi apa nggak ngotorin baju kamu nanti?”
“Nggak kok. Hari ini hari terakhir pakai baju ini jadi nggak papa kotor nanti bisa langsung dicuci,”
Mataku memandangi sosok gadis itu. Rambutnya pendek sebahu, kulitnya putih pucat. Aku tidak tega membiarkannya bekerja sendirian.
“Ngomong-ngomong kamu nanam pohon apa ini?”tanyaku.
“Oh semua ini pohon pepaya. Kamu suka buah pepaya?” tanyanya padaku.
“Lumayan. Jadi semua bibit pohon ini pohon pepaya semua?”
“Iya,”
“Terus kamu juga yang nanam ini semuanya,”
“Iya,” jawabnya dengan senyum.
“Orang tuamu keterlaluan. Tega sekali mereka menyuruhmu menanam bibit pohon sebanyak ini. Harusnya kamu tuh sekolah. Kan sekolah sekarang sudah gratis,” ceramahku.
“Orang tuaku nggak tega kok. Aku sendiri yang mau,” jawabnya sambil tersenyum,”
“Terus buat apa kamu nanam sebanyak ini. Mau jualan?” tanyaku ceplas-ceplos penasaran.
“Biar orang-orang disini ngerasain buah pepaya. Mereka rata-rata nggak punya uang buat beli pepaya. Ini kebetulan tanteku dari Surabaya kasih bibit pohon pepaya. Biar pekarangan rumahku ini juga nggak terlihat gersang. Hijau seperti surga,”
“Wiihh, kayak pernah ke surga aja.”
“Hehe.. iya ya. Tapi pasti suatu saat aku akan ke sana,”
Suasana hening.
“Kok diam?” tanyanya.
“Oh nggak papa. Oiya kita belum kenalan lo. Namaku Rena. Kamu?”
“Aku Laila. Senang kenalan sama kamu. Kamu mau jadi teman ku?” tanyanya tiba-tiba.
“Mau kok. Oke mulai hari ini sampe seterusnya kita temenan ya. Bibit pohon ini saksinya. Haha..,”
“Hahahaha,”
“Oiya, empat bulan lagi pepayanya sudah berbuah. Nanti kalo sudah berbuah tapi belum masak kamu hitung ya ada berapa buahnya. Kalau buahnya sudah masak terus sudah berkurang satu buah berarti sudah aku ambil dan bisa dipanen semua. Nanti kamu ke rumahku lagi ya kita bikin makanan atau minuman serba pepaya deh. Ajak temen-temenmu juga ya biar ramai,” kata Laila mengakhiri pertemuan kami siang hari itu.
“Oke. Sip deh!”
Ternyata pertemuan singkatku dengan gadis itu berbuah menjadi pertemanan yang tidak terduga. Setiap siang pulang sekolah jika melihat dia di depan rumahnya aku selalu mampir untuk menyiram pohon pepaya itu bersamanya. Baru kali ini rasanya punya teman baru yang sangat berbeda status, kondisi, dan latar belakang.
Satu bulan sudah berlalu. Pohon pepaya itu mulai tinggi dan daunnya mulai banyak. Laila dan aku masih rajin menyirami dan memupuknya. Dua bulan, batangnya bertambah tinggi dan daunnya mulai menguning, sebagian telah rapuh. Tiga bulan, sudah terlihat bunga yang mekar sebagai tanda bahwa akan berbuah. Tapi aku sudah jarang melihat Laila menyiraminya lagi. Aku ke rumahnya bermaksud untuk mengajaknya menyiram pohon pepaya. Tapi tidak ada orang di rumahnya. Oh mungkin sedang tidur, pikirku.
Menginjak akhir bulan ke-tiga buahnya sudah hampir masak. Ku hitung ada delapan buah di satu pohon yang paling tinggi. Setiap hari aku pulang sekolah masih saja rumah Laila tampak sepi. Mungkin sedang berlibur, pikirku lagi. Tapi kok pas bukan waktunya liburan. Sampai akhirnya memasuki bulan ke-empat, buahnya sudah masak tetapi belum berkurang satu pun. Masih utuh delapan. Aku semakin heran, ke mana Laila. Rumahnya berkali-kali ku kunjungi tidak ada orang. Apa mereka pindah rumah? Ku tanya orang sekitar rumahnya dan informasinya adalah mereka pergi ke Jakarta atas biaya pemerintah daerah. Hha? Tapi buat apa ke Jakarta? Pakai dibiayai pemerintah daerah lagi. Apakah sepenting itu? Aku jadi tambah penasaran dengan menghilangnya Laila dan keluarganya.
Masih awal bulan ke-empat tepatnya tanggal tujuh. Kedelapan buah pepaya itu masih tetap menggantung di batangnya tetapi sudah mulai menguning tanda sebentar lagi akan busuk.
Keesokkan harinya seperti biasanya aku melintasi rumah Laila. Yang pertama kali ku perhatikan adalah pepaya-pepaya itu. Wajahku tampak sangat lega, buah pepaya itu berkurang satu berarti Laila sudah ada di rumah. Aku berlari menuju rumahnya. Tapi sedikit aneh. Ramai, tidak seperti biasanya. Pekarangannya yang sudah hijau itu dipenuhi banyak orang yang duduk diatas lampit. Apakah seakrab ini orang disekitar Laila menyambut kedatangannya pulang dari Jakarta.
Langkahku melambat. Menaiki tangga rumah Laiya yang berupa rumah panggung sederhana. Suasana bertambah aneh. Asing. Hatiku bergetar. Bulu kuduk merinding. Tapi ku beranikan diriku untuk masuk ke dalam rumahnya.
Air mataku perlahan mengalir. Lama-lama semakin deras. Melihat sebuah kenyataan dari segala pertanyaanku selama ini. Ibu Laila menangis. Air matanya terus mengalir, sama seperti keadaanku sekarang. Aku lihat Laila. Wajahnya cantik putih pucat, lebih pucat dari biasanya. Berbaring. Dibungkus kain kafan dan diselimuti sehelai kain bermotif batik. Iya, dia sudah tak bernyawa.
Langkahku terhenti. Mematung. Tidak tau harus berbuat apa. Kenapa bisa begini? Apa yang terjadi?
Mata ibu Laila mengarah kepadaku. Sedih.
“Nak Rena. Salam dari Laila sebelum dia pergi untuk nak Rena,”
Hatiku semakin bergetar. Mau pingsan. Kenapa tidak Laila saja yang langsung mengatakannya. Padahal sekarang ia ada di dekatku.
Setelah pemakaman Laila selesai, aku merenung. Ada sesuatu yang tidak ku ketahui. Ibu Laila mengajakku ke rumahnya dahulu sebelum aku pulang.
“Nak Rena. Ini ada satu lagi titipan dari Laila,” ibu Laila mengeluarkan sebuah amplop putih.
Aku terdiam sejenak lalu mengambil amplop itu. Sampai di rumah, ku buka amplop itu dan ternyata adalah sebuah surat yang Laila tulis sebelum ia meninggal.
Untuk Rena. Terima kasih ya atas segala keikhlasanmu membantuku menanam pohon pepaya. Aku juga sangat senang kamu mau membantuku menyirami dan memupuknya. Belum pernah aku merasakan punya teman sebaik kamu. Jujur, selama ini aku tidak punya teman. Mereka takut berteman denganku karena aku punya penyakit kanker darah. Ibu bilang itu tidak menular, tapi mereka tetap saja takut. Maaf aku tidak pernah memberi tahumu soal ini. Aku takut kamu menjauh seperti teman-temanku sebelumnya.
Aku seperti punya penyemangat baru ketika kamu datang. Walaupun cuma sebentar itu sudah cukup bagiku punya hari-hari terakhir yang menyenangkan. Terima kasih Rena. Aku tak tahu harus membalasnya dengan apa. Pohon pepaya itu sekarang ku berikan untukmu. Tolong dirawat. Sampai ketemu di surga ya. Laila.
Surat itu basah karena air mataku. Pepaya yang hilang satu itu tidak dipetik Laila, melainkan jatuh karena sudah sangat matang. Terjawab sudah tanda tanya dibenakku. Ia pergi ke Jakarta untuk berobat bukan berlibur. Tapi takdir tak bisa ditolak. Selamat jalan sahabatku. Sampai ketemu di surga.

0 komentar: